Jumat, 24 Desember 2010

kota daeng



Wotu di tengah (klik untuk memperbesar)
Jika anda mengetahui bahwa Wotu adalah nama sebuah daerah berupa kecamatan yang ada di Kabupaten Luwu Timur, Propinsi Sulawesi Selatan, ternyata memiliki bahasa tersendiri dalam berkomunikasi dengan warga lainnya, yaitu Bahasa Wotu.
Wotu merupakan daerah yang di dalam Cerita La Galigo (La Galigo adalah epik terpanjang dunia. Ianya wujud sebelum epik Mahabharata. Ianya mengandungi sebahagian besar puisi ditulis dalam bahasa bugis lama-Wikipedia), menjadi pusat turunnya Tomanurung, Orang pertama di Kerajaan Luwu, yang pada akhirnya pusat pemerintahan Kerajaan Luwu berpindah ke Kota Palopo. Di Wotu sendiri ada Macoa Bawalipu, atau Saudara Tua Raja Luwu yang tinggal di Wotu.
Orang-orang memperkirakan bahwa Bahasa Wotu merupakan cikal bakal dari bahasa-bahasa yang ada di Nusantara ini, seperti bahasa bugis dan bahasa-bahasa lainnya yang berada di daerah sekitar Asia Tenggara. Bahasa Wotu memang beberapa ada kemiripan dengan Bahasa Bugis, Makassar, Bahasa Toraja, ataupun bahasa Tomona di Daerah Sulawesi Tengah, maupun bahasa di beberapa daerah lain karena kedekatan geografis daerah dan asal-usul bahasa-bahasa mereka juga diceritakan oleh orang-orang tua berasal dari Wotu.

Update : seperti yang saya tulis di posting saya di sini bahwa kemiripan bahasa Tagalog dan bahasa-bahasa di Philipina dengan Bahasa Wotu juga ada, seperti kata untuk menyebutkan ayah= ama dan ibu-ina.
Seperti kita melihat bahasa Wotu dianalogikan dengan keadaan seperti hidung dalam bahasa Wotu adalah ango, untuk menyebutkan angka satu, dua, tiga, dan empat itu menggunakan ango, karena ketika berbicara hanya sampai 4 lubang hidung yang ada. Selain itu ada 4 orang mula ito’e yg bersaudara yg pertama-tama menginjakkan kakinya di Luwu yaitu. Berikut beberapa angka dalam bahasa Wotu :
Satu : sango
Dua : duango
Tiga : taloango
Empat : patango
Lima : alima
Enam :ana
Tujuh : pitu
Delapan :walu
Sembilan : sassio
Sepuluh : sapuluh
seribu : sangsou
seratus : satu
Itu beberapa sejarah munculkan kata-kata dalam bahasa Wotu yang bisa menjadi salah satu alasan bahwa Bahasa Wotu merupakan bahasa asli yang langsung dari orang yang pertama menggunakan bahasa.
Kemiripan bahasa terlihat dari beberapa kata, seperti angka tiga yang di beberapa daerah menggunakan kata Tellu, Tallu, Talo yang dipakai di Jawa, Sunda, bahasa Tagalog, dan sekitarnya. Atau Tujuh dengan kata pitu.
Beberapa bukti keaslian bahasa ini juga adalah tidak adanya huruf mati dalam setiap kata dalam Bahasa Wotu ini, bisa dilihat di Kamus Bahasa Wotu Singkat di bagian bawah. Jika ingin mengetahui lebih dalam ada buku Morfologi dan Sintaksis Bahasa Wotu dikarang oleh JS Sande (saya juga belum baca ).
Orang Wotu beranggapan bahwa jika dia orang Wotu berarti dia tau berbahasa Wotu. Memang begitulah idealnya namun sebagian juga ternyata sudah berevolusi dengan bahasa Indonesia, sehingga lambat laun bahasa ini akan menghilang jika tidak dilestarikan.
Barangkali keadaan yang memaksa kita untuk tidak lagi menguasai bahasa itu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Asimilasi kita dengan bahasa-bahasa lain sehingga melupakan identitas bahasa ibu kita.
Kita bisa merasakan bahwa perlunya bahasa daerah ketika sedang keluar dari daerah asal, sehingga kita baru mengingat kembali perlunya mengetahui bahasa dan sejarah daerah kita kembali. Jadi teringat Lagu “Makassar Bisa Tonji” yang berisi kritikan terhadap orang yang sudah melupakan bahasa asli Makassarnya karena berlogat
Kamus Bahasa Wotu
=Keluarga=
Ayah : ama
Ibu : ina
Siapa : sema
Om/tante : uwak
Sepupu sekali : topisa
Sepupu dua kali : topenrua
Cucu : anopu
orang tua : tumattua
=arti=
Dibakar api : kande api
berjalan : molanga
buang air besar : tottai/mojamba
jalan : dala
jatuh: boto
Kulit : uli
Nama : sanga
mengatakan : motae
adik : andri
menikah : siala
kakak : kaka
bulan : ula
duduk : tumongko
Turungnga : sungai
lari : cere
jelek : kadake
baik : kaballo
bersamalah= suranga ta
laut : tasi
berkerut : si kapurru
pantat : tambe
kepala : ba
tangan : jari
manis : macanni
kaki : aje
sepotong : sapale
Turun : mono
mendengkur : manggoro
Bertemu : siruntu/sintomu
Naik : mene
Timba : Pattenru
Perahu : lemba
mencuri : minnau
Ikan : bete
Tidur : maturu
bangun : tumongko
rokok : tole
rumah : wanua
bersama : suranga
baju : badu
celana : sularra
memanjat : mennea
kelapa : kaluku
melawan : mangewa
lawan : bali
teman : ranga
terbang : molao
sama panjang : sumanrate
orang : ito
potong ayam : sumbele manu
jauh : marido
menangis : tomangi/karra
sekumpulan : sipuluanna
dibuang : ibana
tenda : semba
parang : ambera
rambut :luwa
kurang ajar : kurayya
gila : ombe
durian : tampia
pisang : punti
air : uwe
air panas : pinane
panas : mapane
jangan : billi
sayur : buaju
aku : iyau
tiang : patotto
memasukkan : palopo
dingin : madingngi
membeli : mangali
menjual : mobalu
di dalam : ilara
di luar : isalua
diam : makko
beras : barra
merah : maeja
hitam : maeta
kuning : maunni
gunung : bulu
hidung : ango
gula merah : golla eja
perempuan : bawine
laki2 : muwane
besar : oge
kecil : bacici
anak2 : ngana2
patah : pale/polo
sumur : bubung
berbaris : barisi
tiga ekor : tallu mba
hujan : uda
bambu : salolo
kuburan : kaburru
tidak tau : edo sani
Allah ta ala : Pungga Taala
tertua : macoa
pertemuan : pentomua
sagu : tabaro
tidak mau : cia
marah : cai
kebun : bilassa
hidup : tuwo
bantal guling : kanggulu
kelambu : boco
pasar : posarra
pipis : tole
tersangkut : sappe
mandi : mandriu
ikan kering : bete kossi
sarung : lipa
= Dialog =
Mau pergi mana ? : Mai pasi?
Siapa namamu? : Sema sangata/sangamu?
Kabar baik : Kareba Kaballo ba.
Saya mau mandi : iyau melu mandriu
Jangan mau diganggu orang : Edo melo lagarrui itoe
Tidak juga kamu : Edo dua io
Turun ke sungai : mono turungnga
Jangan ribut : billi marea
sampai pada waktu : anularatteme wattu u
Bias Bahasa (terinspirasi postingan teman saya di sini)
Dalam bahasa Wotu juga dikenal kata yang berhomofon yaitu tole yang artinya bisa buang air kecil (pipis) atau merokok, tergantung konteks kalimatnya. Jadi ketika kita ngomong “mipa tole” ada 2 kemungkinan pergi (lagi) merokok atau pergi (lagi) buang air kecil
Ketika orang Wotu berkata “edo sani” bukan berarti menyebutkan pasangan Edo dan Sani, tapi mengatakan bahwa tidak tau. Bagaimana jika kata itu dikatakan kepada orang-orang yang tidak tahu berbahasa Wotu.
Kalau orang Wotu berada di antara orang Minang, trus dia berkata “uda untuk mengatakan hujan, ternyata bukan untuk memanggil paman dalam artian berbahasa Padang.
Kata Marido dalam bahasa wotu adalah jauh, sedang dalam bahasa Arab : sakit (bagi wanita)
Demikianlah bahasa ibu, bahasa yang harus tetap dipertahankan untuk tidak hanya menjadi catatan sejarah, tapi merupakan identitas yang maha luhur.


Sinopsis Tari Sumajo Luwu

OLEH M.AMIN WAHID

Pemain Sumajo ini ,dimainkan minimal tiga orang dan boleh lebih sesuai dengan kebutuhan tetapi jumlahnya harus ganjil. Yang boleh menjadi pemain sumajo adalah mereka yang turunannya berasal dari para pemangku adapt/ yang pernah menjadi pemangku hadat ( TOMENGKENI). Sebelum mereka tampil (sumajo) maka mereka disiapkan pada suatu tempat dengan posisi sebagai berikut:
-          Duduk sambil kaki kiri diduduki,
-          Kaki kanan (lutut) berdiri,
-          Kedua belah tangan mereka kepada bahagian depan dengan kepalan tangan,
-          Mereka duduk bersaf.
Setelah melihat para pemain Kajangki datang yang diikuti dengan komando tabuh/gong,maka secara serentak mereka berdiri sambil menganggukkan kepala pertanda bahwa mereka sudah siap untuk tampil. Sesudah itu mereka berjalan dengan posisi berbanjar dan diikuti oleh pemain kajangki. Setelah tiba tempat dimana mereka akan mempertunjukan Tarian Sumajo, maka pihak penari Sumajo menyusun posisi mereka, sedang para pemain kajangki berada setengah lingkaran, suatu pertanda bahwa penari Sumajo perlu dilindungi. Namun sebelum penari Sumajo muncul dihadapan mereka ada duduk dewan hakim minimal tiga orang yang terdiri dari:
-          MACOA BAWALIPU,
-          MINCARA OGE,
-          ANRE GURU OLITAU/ AND.NANRA.
Setelah pertunjukan Sumajo usai, dengan perintah tubuh mereka kembali ketempat semula, yang diantar oleh pemain Kajangki, dan setelah mereka tiba ditempat, maka pemain kajangki kembali duduk disekitar Dewan Hakim. Dan setelah mereka duduk, Macoa Bawalipu menyampaikan titahnya sebagi berikut:
TAMAKA RANNU PADA MUITAO MOMBORE,   YAKIYA DAA SEDDE KEDO KEDONA SALAH SAITOMU,KEDO KEDO PISA LAWADDI LAITA TOMATABBA, JAJIMAKOKKONI HARUSU MARO MO EJA EJA.
Pada saat Macoa Bawalipu menyampaikan titahnya tersebut maka sarung yang ada ditangannya yang disebut Cinde, dilemparkanlah kepada yang berbuat kesalahan tadi. Setelah yang bersangkutan menerima Cinde tersebut maka dengan rasa ragu dan takut menghadaplah dia ke Dewan Hakim untuk meminta maaf, akan tetapi Dewan Hakim tidak menerimanya, justru yang bersangkutan melakukan Eja-Eja. Eja-Eja adalah merupakan pantun jenaka, dan tidak terikat dengan bahasa, malah kalau pelakonnya bergerak lucu, maka itulah yang sangat diharapkan karena dapt membuat penonton tertawa. Bila yang bersangkutan selesai melakukan eja-eja maka cinde yang ada pada tangannya dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya terkecuali kepada pejabat pemerintah/pemangku hadat dan wanita. Dan apabila yang tersebut juga diberikan maka permainan/tarian dianggap selesai, dan cinde kembali diserahkan kembali kepada Macoa Bawalipu. Cinde adalah selembar kain sarung panjang yang tidak terjahit seperti sarung biasa yang dipegang oleh pemain Eja-Eja pada saat kena giliran. Adapun alat kelengkapan Tarian Sumajo:
    1. Baju Bodo panjang (Baju laru ) warna merah,
    2. Sarung sutra warna putih,
    3. Selendang Warna putih
  1. Memakai sanggul tinggi.
SEKELUMIT NYANYIAN KAJANGKI.
LIPU BULLI NU AMBARO MPORO,
PANGALLE AWAU PANGALLE TO RUMPAU,
IYOBA PO LEMBANGKU,
PANGANA WONRU TUU ITA PANA LIPU,
IYAPO LADI PENNEYA ANANAPO MARAJA,
MO EMBA PATOLA.

Tarian Tradisional Makassar

E-mail Print PDF
tari-pakarenaGriyawisata.com, Tari Pakarena adalah tarian tradisional dari makassar, Indonesia. Tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup,bercocok tanam, beternak, hingga cara berburu lewat garak-gerakan tangan, badan dan kaki.
Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.
Tari ini sangat enerjik, dengan hingar bingar oleh musik. Tari ini diiringi oleh tarian yang sangat lambat lemah gemulai dari para wanita muda. Dua kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling (puik-puik) mengiringi dua penari.



Tari Paraga, Suku Bugis Makassar

E-mail Print PDF
tariparagoGriyawista.com, Makassar adalah sebuah kota budaya urban yang terbentuk akibat pencampuran beragam budaya, mulai dari budaya suku bugis, suku makassar, suku mandar dan suku toraja. Ke-empat rumpun budaya ini telah berasimilasi dengan beberapa unsur etnis lainnya berinteraksi dan berkomunikasi mewarnai kehidupan masyarakat kota Makassar selama beberapa abad.
Namun, ada salah satu permainan tradisional suku Bugis - Makassar yakni Tari Paraga. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak-anak remaja untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan bola yang terbuat dari rotan. Permainan ini juga untuk menarik perhatian para gadis-gadis remaja. Dalam permainan ini biasanya dimainkan oleh beberapa para remaja, dimana para remaja tersebut memainkan bola rotannya diatas.\


 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar