Jumat, 24 Desember 2010

Hubungan Kawali (Badik) dan Tanah Luwu




 

Awal terbentuknya kerajaan luwu kaitannya dengan kebudayaan keris

Mungkin para pembaca pernah dengar bahwa awal mula berdirinya kerajaan luwu, bersamaan dengan lahirnya kebudayaan metalurgi khususnya pemakaian besi untuk senjata-senjata pusaka dan sebagainya.. dimana salah satu besi yang dianggap bertuah dan paling dicari adalah besi Luwu (bessi Ussu).
ada beberapa versi mengenai hal tersebut, diantaranya adalah .konon pembuatan keris atau senjata pusaka pada jaman itu adalah jenis senjata berpamor, yang mana bahan tersebut salah satunya adalah besi Ussu dari Luwu yang banyak mengandung meteorit dan nikel, sehingga besi Luwu (ussu) menjadi bahan pamor utama pembuatan dalam pembuatan keris, dalam buku Ensiklopedi Keris disebutkan bahwa besi Luwu dipasaran dikenal dengan nama Bessi Pamorro, sampai dengan tahun 1920 masih dijumpai di pasar Salatiga dengan harga perkilo setara dengan 50 kg beras
Senjata berpamor pada umumnya untuk keperluan senjata pusaka karena dipercaya memiliki kelebihan2 yang berhubungan dengan aura kepemimpinan,… selain besi pamor.. di Luwu juga dikenal besi khusus untuk berperang namanya besi Ponglejing yang banyak dipergunakan sebagai senjata perang khususnya dari suku To Rongkong.
Versi lain mengatakan bahwa Sebagai mana diketahui, pulau Sulawesi adalah salah satu pulau terbesar digugusan kepulauan nusantara. Nama Sulawesi juga telah menjadi misteri tentang siapa yang pada awalnya memberikan nama pulau ini menjadi pulau Sulawesi. Akan tetapi besar dugaan bahwa orang yang bersejarah memberikan nama pulau ini sebagai Sulawesi yaitu Prof.Moh.Yamin sebagai ganti dari nama yang sebelumnya yaitu Celebes yang dikenal pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Sebenarnya nama Celebes pada awalnya dikenalkan oleh seorang yang berkebangsaan Portugal yang bernama Antonio Calvao pada tahun 1563 .Celebes oleh Antonio Calvao dimaksudkan sebagai ” ternama” atau tanah yang makmur yang terletak digaris Khatulistiwa. Celebes bagi orang Belanda menyebutnya dari kata Cele Besi yaitu Cele ( Keris,badik atau kawali)`yang dibuat dari Bessi`( Bugis).
Sebuah anekdot dalam masyarakat yang konon menurut cerita yang dituturkan oleh seorang Belanda yang bertanya kepada seseorang yang secara kebetulan seorang bugis .Orang Belanda bertanya tentang nama tempat atau pulau, akan tetapi disalah artikan oleh orang Bugis yang menurut sangkaannya orang Belanda tersebut menanyakan nama senjatanya, lalu dijawabnya sele (keris) bessi (besi). Terlepas atas kebenaran cerita tersebut tetapi kenyataannya pulau Sulawesi sejak dahulu adalah penghasil bessi (besi), sehingga tidaklah mengherankan Ussu dan sekitar danau Matana mengandung besi dan nikkel.
Bessi Luwu atau senjata Luwu (keris atau kawali) sangat terkenal akan keampuhannya, bukan saja di Sulawesi tetapi juga diluar Sulawesi, sehingga seorang novelis terkemuka Kho Ping Ho (Asmaraman) menggambarkannya dalam cerita ” Badai di laut Selatan”didalamnya diceritakan kehebatan atau keampuhan Keris Brojol Luwu yang kini telah menjadi pusaka kerajaan Airlangga.
adapun yang mengatakan bahwa asal usul pulau sulawesi adalah Sulawesi, adalah nama sebuah pulau yang berada di tengah-tengah Indonesia. Bentuknya cukup unik, seperti huruf K dan dilalui oleh garis meridian 120 derajat Bujur Timur, dan juga terhampar dari belahan bumi utara sampai selatan. Menurut wikipedia, nama Sulawesi kemungkinan berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’ yang menurutnya banyak ditemukan di sekitar Danau Matana. Pada dokumen dan peta lama, pulau ini dituliskan dengan nama ‘Celebes’. Waktu saya kecil, saya pernah mendengar hikayat tidak resmi tentang asal usul nama ‘Celebes’ ini, yang mungkin saja benar. Hikayat ini dalam Bahasa Bugis…
Wettu rioloE, wettu pammulanna engka to macellaE gemme’na, no pole lopinna ri birittasi’E, lokka i makkutana ko to kampongE. To kampong E wettunna ro, na mapparakai lopinna, masolang ngi engsele’na. Na wettunna makkutana i to macella’E gemme’na, to kampong E de’ na pahang ngi, aga hatu na pau. Kira-kira pakkutanana yaro to macella’E gemme’na, mappakkoi: “Desculpar-me, qual é o nome deste local?” Yero to kampongE, naaseng ngi kapang, “agatu ta katenning?”. Mabbeli adani to kampongE, “Sele’bessi”. Pole mappakoni ro, na saba’ asenna ‘Celebes’.
Terjemahan bebas: Pada waktu lampau, pada saat pertama kali rombongan orang yang berambut merah turun dari perahu dan menghampiri penduduk setempat yang sedang bekerja membuat perahu. Pimpinan rombongan tersebut bertanya mungkin dalam bahasa Portugis yang tidak dimengerti, mungkin bertanya ‘Apa nama tempat ini?’ Penduduk yang ditanyai, karena tidak paham, hanya mengira-ngira mungkin dia ditanya benda apa yang sedang dia pegang? Dengan spontan penduduk tersebut menjawab ‘Sele’bessi’ yang artinya engsel besi. Sejak saat itu, pimpinan orang yang berambut merah mencatat lokasi yang mereka datangi bernama daerah ‘Celebes’.
Salah satu ekspedisi ilmiah dunia terkait dengan Sulawesi dilakukan oleh Alfred Russel Wallace yang mengemukakan suatu garis pembatas tentang flora dan fauna yang ada di Indonesia. Juga ekspedisi Snellius (Universitas Leiden) yang mempelajari tentang kondisi bawah permukaan sekitar Sulawesi sampai ke Maluku. Kedua ekspedisi ilmiah pada zaman tersebut menggunakan nama ‘Celebes’.
Yang menarik adalah masyarakat lokal pada waktu itu belum menyadari untuk memberikan nama ke pulau tempat mereka berdiam. Sehingga untuk hal ini, Celebes merupakan eksonim untuk pulau yang nyaris berbentuk huruf K ini. Dari Celebes ini kemudian berevolusi menjadi ‘Sulawesi’ yang menjadi endonim sampai saat ini.
tapi menurut Bapak Iwan Sumatri seorang arkeolog dari Unhas. Terkait penelitian peninggalan sejarah dan purbakala. Salah satunya adalah penelitian kerjasama Pusat Arkeologi Makassar dan The Australia National University dengan mengambil tema proyek “The origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS project)” yang dilakukan di kabupaten Luwu dan hasilnya ditulis dalam bukunya “Kedatuan Luwu”.
Dalam buku itu, disebutkan Kerajaan Luwu pernah memainkan peran penting pada periode keemasan Majapahit. Karena itu, nama Luwu tercatat dalam kitab Nagarakartagama yang selesai ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
Diduga, Majapahit mengadakan kontak atau hubungan niaga dengan Kedatuan Luwu dikarenakan daerah ini memiliki sumber besi yang berkualitas baik, yang pada saat itu diperlukan oleh karajaan Majapahit untuk produk peralatan senjata/keris Jawa yang terkenal karena mengandung pamor Luwu.
Tempat yang diduga sebagai sumber bahan mineral adalah daerah Matano dan beberapa daerah di Limbong. Dalam laporan OXIS project dinyatakan:“The world’s largest nickel-mining complex is located in the southern bank of Lake matano, which has led to speculation that bickellifeous iron ore from the Matano area was smelted to produce the famous pamor Luwu used in Majapahit krisses”
Dari hasil ekskavasi atau penggalian yang dilakukan di sekitar Danau Matano 1998-1999, diketahui lokasi tersebut pernah menjadi sentra industri peleburan bijih besi dengan ditemukannya terak-terak besi yang melimpah. Bijih besinya sendiri antara lain diambil dari bukit-bukit di atasnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya ditemukan lubang-lubang bekas penambangan besi kuno di perbukitan utara Danau Matano (Bukit Latajang). Lebih lanjut Pak Iwan-sapaan akrabnya- menyebutkan data-data pendukung bahwa Desa Matano pernah menjadi sentra industri dan pemukiman yang kompleks. Ditandai antara lain dengan adanya sisa benteng tanah dua lapis di sisi barat Desa Matano, mata air, batu dakon, situs pekuburan tua.
Rupanya Pak Iwan tidak puas hanya dengan bercerita. Beliaupun mengajak kami mengunjungi kompleks pekuburan Lakamandiu yang terletak di Bukit Pa’angkaburu, sekitar 10-an km dari Desa Matano.
Menurut Pak Iwan, yang juga ketua jurusan Arkelogi Unhas ini, Matano menjadi penting karena tradisi lisan banyak menyebutkan bahwa daerah perbukitan Danau Matano dipandang sebagai zona sumber bijih besi Luwu yang berkualitas dan kemungkinan besar pernah diekspor ke Jawa, dan diokupasi sejak sekurang-kurangnya abad XIV.
Bijih laterit yang kandungan besinya dikatakan sampai 50% serta nikel banyak ditemukan di atas muka tanah sekitar Danau Matano. Dari hasil ekskavasi yang telah dilakukan, temuan dominan di situs Matano berupa terak besi, arang, serpihan batuan lebih dari 700 buah dalam satu kotak ekskavasi yang berukuran 1×1 m. Serpihan batu ini diduga dipakai sebagai batu pematik api (batu api).
Temuan lainnya yaitu wadah tembikar polos maupun berhias, pipa tanah liat dan sebagainya. Bahkan, untuk pipa tanah liat ini ada dugaan digunakan untuk mengalirkan logam yang telah dicairkan karena ada indikasi lapisan cairan besi pada lekukan dalam. Pada survey awal tahu 1995 oleh tim kecil yang dipimpin oleh David Bulbeck, ditemukan sisa-sisa tanah yang teroksidasi besi sepanjang tepi danau Desa Matano yang mengindikasikan sejarah yang panjang. Data lainnya berupa serpih batu (chert), fragmen gerabah hias dan polos. Selain itu diperoleh informasi adanya areal yang disebut Rahampu’u, artinya rumah pertama, yang merupakan cikal bakal pemukiman di Desa Matano.
Situs Nuha dan Pontanoa Bangka
Selain di Desa Matano, penggalian dilakukan pada tempat lain yang dianggap sebagai unit-unit pemukiman kuno di sepanjang penggiran Danau Matano, yaitu Nuha, Sukoyo, dan Pontanoa Bangka.
Disimpulkan Matano, Nuha dan Sukoyo untuk sementara diidentifikasi sebagai tempat hunian utama. Dalam konteks populasi pinggir danau, terutama bagi komunitas Nuha dan Sukoyo, dala situasi tersebut, paling representatif menggunakan Pontanoa Bangka sebagai tempat penguburan.
Pertanggalan mengenai tungku sisa-sisa pengolahan bijih besi yang ditemukan di Nuha menunjukkan bahwa sejak 1000-1500 tahun lalu masyarakat Nuha telah mengenal pengolahan bijih besi. Meskipun masih bersifat hipotesis tetapi kemungkinan besar pada masa itu masyarakat Nuha juga telah mengenal penempaan besi menjadi alat-alat kebutuhan sehari-hari, bukan mustahil juga dibuat untuk mensuplai permintaan pasar.
Diduga sekitar 1500 tahun yang lalu, kemungkinan besar masyarakat Nuha telah memiliki kontak dengan dunia luar. Jalan darat dapat mengitari bagian punggung pengunungan sekitar Danau Matano yang kemudian dapat menembus daerah seperti cerekang dan Ussu. Pada bagian utara Nuha, jalan darat dapat menghubungkan beberapa wilayah yang berbeda dalam kawasan pesisisr timur Sulawesi Tenggara dan Tengah.
Bukti kuat interaksi Nuha dengan wilayah luar, dengan ditemukannya sisa kain yang terbuat dari kapas serta manik-manik (dua diantaranya adalah dari bahan kornelian), diduga berasal dari pertengahan millennium pertama, yakni dari tahun 410-660 Masehi atau berumur ±1520 tahun yang lalu.
Jika benar pendapat bahwa Sriwijaya merupakan salah satu tempat tertua sentra industri manik kornelian antara abad VIII-XII, bukankah bahwa manik kornelian PB menunjukkan kronologi lebih tua, dan dengan begitu memberi gasasan pada kita untuk mempertanyakan; apakah manik tersebut merupakan benda impor yang sangat mungkin berasal dari India, langsung atau tidak langsung.
Demikian juga sisa kain, boleh jadi mewakili produk kain tertua yang penah itemukan di Indonesia dan merupakan jenis tekstil yang hanya diproduksi di India. Meskipun letak geografisnya terpencil, namun terbukti, potensi sumber daya alam dan populasi yang telah menguasai keahlian dalam teknologi logam, memungkinkan daerah perbukitan Matano itu menjadi terbuka, setidaknya pernah menjalin hubungan eksternal dengan kelompok-kelompok komunitas lain dalam jaringan niaga maritim yang luas.
Hubungan itu menghidupkan arus komunikasi timbal balik dan saling ketergantungan. Jika demikian maka Nuha merupakan zona sumber alam potensial sehingga memungkinkan terjadinya barter ataupun bentuk-bentuk pertukaran kuno lainnya dari dan ke tempat ini.
Sayangnya, data arkeologi Nuha tidak tersedia cukup untuk memberi penjelasan kapan dan bagaimana pola perdagangan ataupun barter yang pernah terjadi. Tetapi kemungkinan sekali hal ini bermula dari hasil hutan seperti damar dan gaharu yang banyak ditemukan di sepanjang perbukitan dan lebah-lembah sekitar Danau Matano. Jenis interaksi ini kemudian memunculkan inovasi baru dalam bentuk pengolahan bijih besi dan besar kemungkinan menjadi komoditas utama mengikuti perkembangan pasar yang membutuhkan bahan baku pembuatan alat logam.
Pekuburan Pra Islam di Pontanoa Bangka
Pontanoa Bangka dalam bahasa lokasl berarti perahu yang ditenggelamkan ke dasar danau. Di situs ini terdapat lokasi penguburan pra islam.
Komposisi temuan ekskavasi dimulai dengan sebuah wadah gerabah yang di sekitarnya banyak ditemukan manik-manik. Di bagian bawah wadah ditemukan hamparan arang padat dan terkonsentrasi.
Pada kedalaman ±100 centimeter, ditemukan fotur yang berisi beberapa fragmen gelang dan cincin perunggu serta beberapa cangkang kemiri. Di kedalaman kurang lebih dua meter, ditemukan fitur lain yang berisi gelang, cincin, manik-manik, parang, kain dan tikar dari daun pandan/lontar(?) yang telah lapuk. Asosiasi ini kemungkinan besar merupakan satu set aksesoris perhiasan yang dibungkus dengan kain kemudian diletakkan di tas tikar bersamaan dengan parang.
Hasil analisis sejumlah sample temuan dari Pontanoa Bangka di laboratorium Australian National Universitas, Canberra, menunjukkan beberapa umur karbon. Sample arang, misalnya, yang dicuplik dari konteks kubur dengan wadah gerabah, menunjukkan pertanggalan 1000 BP. Sedangkan analisa sisa katun (kapas) serta arang dimana terdapat kubur tanpa wadah gerabah, menunjukkan pertanggalan 1500 BP atau sekitar 410-660 M. Sementara pengajuan atas sisa pekerjaan besi dari Nuha memberi bukti tentang kegiatan olah logam tertua; pertanggalan arang yang tersisa pada tungku pembakaran menunjukkan umur 1000 BP. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa lapisan pertama (kubur dengan wadah) ada situs kubur Pontanoa bangka sejaman dengan pemukiman di Nuha.
dari hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa di masa silam telah ada populasi lokal yang cukup memiliki keahlian dalam teknologi logam yang selama beberapa abad pernah menjadi andalan ekonomi Luwu. Dan rasanya tak mengherankan jika dikekinian ada perusahaan raksasa, seperti PT Inco yang bercokol untuk menambang dan memanfaatkan potensi mineral tersebut. ***
sumber klik disini
 
i
 
 



Laga Ligo LogiKisah-kisah dalam naskah La Galigo memang hebat, bahkan merupakan naskah epik terpanjang di dunia, bayangkan saja naskah I Laga Ligo lebih panjang dari Naskah Mahabrata di India, namun sangat disayangkan nasibnya begitu malang. Berabad-abad lamanya, epos luar biasa ini tercecer, entah mengapa seakan-akan generasi pewaris i Laga Ligo ini mengabaikan situs sejarah yang tiada tara ini.  bahkan setiap episodenya terserak ke mana-mana tanpa karuan.  Dahulu kala setiap bangsawan tanah Luwu ataupun bangsawan Bugis menyimpan beberapa penggal episodenya sediri secara turun temurun dalam keluarganya. Sehingga untuk melacak keseluruhan episode naskah tersebut, diperlukan kerja keras, serta waktu yang tidak sedikit. Sungguh bukan pekerjaan yang semudah membalikkan telapak tangan.
Salah seorang Bangsawan Tanah Luwu, sebut saja Colliq Pujie, bangsawan yang berjasa menyelamatkan naskah-naskah tersebut dari kepunahan. Beliau mengumpulkan cerita yang ada dalam naskah I Laga Ligo dalam 12 jilid kitab dengan total 2.851 halaman. 12 jilid ini merupakan ringkasan cerita La Galigo. Ia mulai mengerjakan naskah ini tahun 1852, atas dorongan seorang peneliti Belanda bernama D.R.B. F. Matthes.
Tapi sungguh ironis, meski naskah ini asli milik Indonesia (khususnya Tanah Luwu), namun yang menyimpannya justru Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua. Dalam sebuah ruangan bersuhu 18 derajat Celcius. Di ruangan ini tersimpan ratusan fragmen La Galigo dalam bentuk manuskrip. Koleksi naskah La Galigo di perpustakaan ini merupakan yang paling lengkap di dunia. Karena koleksi milik bangsawan Bugis sendiri tak ada yang selengkap itu. Naskah yang berada di Leiden Belanda ini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro. Menurut Roger Tol, direktur Perpustakaan KITLV (Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi), ada alasan khusus mengapa La Galigo tak mungkin di simpan di bumi tempat lahirnya La Galigo, Sulawesi Selatan (khususnya Tanah Luwu). Iklim daerah ini terlalu panas bagi manuskrip tua. Sedang Belanda, memiliki iklim lebih bersahabat. Tapi, mungkin ada alasan lain mengapa naskah ini disimpan di Belanda. Banyak naskah-naskah asli La Galigo yang hancur karena kecerobohan para pemiliknya. Misalnya saja sebuah naskah La Galigo milik Colliq Pujie yang diwariskan pada keturunannya. Naskah itu hancur karena kucing melahirkan di atasnya. Lalu, ketika dicuci dan dijemur,hujan malah datang dan mengguyur manuskrip, hingga lebur tak bersisa. Uh, malangnya. Sepertinya, kita memang harus belajar banyak dari Belanda, bagaimana cara memperlakukan warisan sejarah nenek moyang.
sebagian besar bersumber dari klik di sini


Aku Ingin Ke Belanda Mencari Ilmu I La Galigo





Ironi Sastra Bugis yang Terkikis

Layar putih panggung perlahan menggulung naik, satu-satu orang berbusana tradisional Bugis berjalan seirama kesunyian memasuki pentas. Mereka mengusung beragam perkakas sehari-hari. Disusul dua orang berbalut kain biru sepanjang enam meter merayap melintas di bibir bagian depan panggung. Selama 15 menit prolog lakon sastra epik besar I La Galigo itu penuh kesenyapan.

Saat kesunyian magis kian menyihir penonton, mendadak dihentak musik tabuh mengiringi tiga pria berpakaian laskar Bugis. Mereka melintas sambil melompat-lompat. Di akhir pementasan, adegan itu kembali muncul. Namun, mereka hanya berjalan mengusung benda-benda dalam bayangan kosong. Sesudahnya, seorang pemeran I La Galigo merosot turun dari tangga hidrolik ke bawah panggung. Inilah awal dan akhir cerita.

Tak kurang dari 2.000 penonton yang memadati gedung teater megah Esplanade, Rafless Street, Singapura, Jumat (14/3) pekan lalu memberikan apresiasi spontan. Mereka terhenyak berdiri dengan gemuruh tepuk tangan menggema selama beberapa menit. Tampak ikut berdiri, Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bersama istri, 15 rombongan dari Jakarta. Juga dedengkot Teater Koma Nano Riantiarno bersama istri, aktris Christine Hakim, Ria Irawan, dan lainnya. Hadir beberapa pengusaha, tokoh pers Djafar Assegaf hingga ekonom Sadli.

Sungguh apresiasi hebat atas epik Bugis berlakon I La Galigo yang diusung arsitek teater kontemporer dunia, Robert Wilson. Ia berhasil mengangkat epik berumur ribuan tahun yang mulai terkikis di masyarakat Bugis. La Galigo merupakan sastra unik karena memiliki gejala khas konsisten, gaya bahasa dan alur cerita. "Epik ini sederhana dan alami, karenanya saya lebih menonjolkan kreativitas artis dengan memadukan gerakan, kata-kata, teknik lampu, musik, dan imajinasi," kata Wilson.

Keberhasilan pentas perdana ini tak lepas dari dukungan 50 aktor seniman Indonesia. Dalam kerangka artistik bersentuhan teknologi, penari dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua membuat cerita menjadi hidup. Selepas tiga hari di Singapura, I La Galigo terbang ke Amsterdam, Barcelona, Lyon, Ravenna, Italia, dan New York.

I La Galigo sejatinya karya sastra Bugis kuno yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Menurut peneliti Belanda Roger Tol, kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana serta sajak-sajak Homerus dari Yunani sepanjang 160-200 ribu baris. Peneliti La Galigo selama 25 tahun ini juga menilai gaya bahasanya sangat indah.

Sedikit dialog

Robert Wilson membuka lakon ini dengan gaya tengok belakang. Awal cerita menampilkan seorang pria berpakaian Kerajaan Cina, duduk bersila membaca kitab I La Galigo yang ditulis dengan bahasa Lontar. Ia menampilkan kisah yang praktis berurutan, sejak cerita tentang kakek dan kemudian giliran ayah, dan terakhir tentang I La Galigo. Selama tiga jam tampak adegan-adegan yang terharmonisasi tarian dan musik tradisional, serta kilatan permainan cahaya. Dialog bisu di atas panggung dihidupkan 70 alat musik Bugis.

Tampak sekali Robert mengangkat teks-teks kuno berwujud puisi menjadi cerita epik sederhana. Ia ingin membawanya ke dunia masa kini yang jarang diketahui orang. Maka, ia meminimalkan dialog, yang dibawakan "dalang" pendeta bissu asli Puang Matoa Saidi. Dialog maupun cerita ringkas dalam bahasa Bugis yang dilantunkan. Untuk menuntun plot dalam bahasa Lontar halus, disediakan terjemahan bahasa Inggris di papan teks sisi kiri panggung.

Tari garapan Andi Ummu Tunru menguatkan La Galigo sebagai tradisi tua. Tari Pakarena dari Makassar, Pajoge dari Bone, Pajaga dari Luwu, Pegellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Kostum garapan Joachim Herzog dengan warna mencolok menegaskan karakter para tokoh. Patoteque putih bersih, tokoh Batara Guru merah, tokoh Sawerigading kuning.

Kilatan permainan lampu mengganti warna-warna latar belakang cerdas mendukung penonjolan tokohnya. Sorotan snap shot menimbulkan efek tiga dimensi. Gemuruh musik perpaduan perkusi, sayatan rebab juga menyuguhkan suasana berbeda-beda.
Sebelum pementasan, Andi Ummu Tunru yang mengenakan gaun panjang cokelat kepada Koran Tempo mengatakan, penggarapan karya ini menjalani proses panjang. Mereka harus melakukan penelitian tentang kitab La Galigo selama tiga tahun. Begitu juga membuat seminar terbuka penggalian sastra La Galigo. Selepas itu, terbentuk kesepakatan menampilkannya berupa pementasan. "Persiapan pentas perdana di Singapura dilakukan selama dua minggu," katanya.

Mereka berlatih tiga kali sepekan di Benteng Fort Rotterdam, Singapura. Sebelumnya, para seniman harus belajar Pamanca di Desa Paopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Latihan selalu berlangsung pada pukul 23.00-04.00 Wita. Latihan ditutup dengan ritual maccera, yaitu memotong ayam sebagai pertanda syukur.

Cikal bakal pertunjukan ini ketika penari Restu Kusumaningrum, koordinator artistik produksi, bersama Rhoda Grauer, produser seni dan penulis naskah lakon ini, sepakat mewujudkannya menjadi seni pertunjukan. Bersama Rahayu Supanggah mereka membuat presentasi di studio Robert Wilson di New York, dan berhasil menggaet Change Performing Arts (Italia) sebagai sponsor.

Kitab La Galigo mulanya dikumpulkan Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru.

Naskah La Galigo tersebar di beberapa negara. Selain empat di Inggris dan beberapa naskah di Belanda, lima naskah La Galigo juga tersimpan di Library of Congress Washington DC, Amerika Serikat. Naskah-naskah tersebut, Bugis (1) War betw Two Rajahs, Bugis (2) Day of Judgement-fr. The Koran, Bugis (3) A Tale, Bugis (4) A Rajah's courtship, Bugis (5) Marriage froms, etc.

Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah Sureq La Galigo.

Rencana pementasan La Galigo sempat menuai protes medio tahun lalu. Proyek lakon ini dinilai banyak mencangkokkan unsur-unsur luar Bugis. Padahal, unsur-unsur Bugis yang menjadi landasannya justru ditinggalkan. Para seniman Sulawesi Selatan berpandangan pementasan itu bisa membangun persepsi keliru tradisi dan syair kepahlawanan yang mengakibatkan jiwa La Galigo tak utuh. Para peneliti, ilmuwan, dan seniman yang terlibat sejak awal proyek La Galigo malah ditinggalkan.

Nurhayati menjelaskan, Rhoda Grauer dan Restu Kusumaningrum dari Bali Purnati Centre for The Art, tidak menghargai hak intelektual dan para peneliti La Galigo. Padahal, Rhoda Restu hanya sebagai penghubung dengan sutradara Robert Wilson. Konon, kontroversi ini yang membuat pementasan La Galigo tidak digelar di Tanah Air. Kontroversi tersebut ditepis Jusuf Kalla yang menyebut tidak tersedianya gedung representatif sebagai penyebab.

Peneliti La Galigo yang lain, Muhammad Salim, mengatakan tidak mungkin melakonkan utuh La Galigo. Sebab lebih panjang dari epos Mahabharata dan petualangan tokoh utamanya sebanding dengan kisah Ulysses dalam Odyssey karya Homer. Diambillah keputusan mengambil salah satu bagian terpenting: awal mula manusia di bumi.
 

1 komentar:

  1. back ground tll ramai, shg tulisan gak bisa dibaca

    BalasHapus